Tak Mudah Untuk Menjadi Guru


.

2b - KPK

Video pendek di bawah ini adalah sebuah kompilasi foto saya di Kelas Inspirasi (KI) Gresik, 2 tahun yang lalu. Sebuah gerakan yang digalang oleh Mendikbud RI saat ini, Anies R. Baswedan. Sebuah sekolah lawas di pinggiran kota Gresik. SD yang memiliki karakter siswa yang sangat unik.

“Bapak, Ada sebuah sekolah di pinggiran kota Gresik yang masih kekurangan relawan pengajar,” demikian pesan singkat yang masuk ke hp saya.

“Bapak bersedia mengisi kan?” Lanjut sms yang menohok urat kesadaran saya. Selanjutnya untuk memenuhi permintaan salah satu relawan tersebut, akhirnya saya meminta konfirmasi lebih lanjut.

Gresik. Sebuah nama tempat yang sangat tidak asing. Sebab istri saya berasal dari kabupaten ini. Sementara 2 orang anak saya pun sedang menempuh pendidikan pesantren di sini. Meski saat itu saya sedang bekerja di Jogja, saya putuskan untuk menerima ajakan tersebut. Artinya, saya harus mengajukan cuti untuk bisa berpartisipasi dalam program Indonesia Mengajar tersebut. Ciptakan peluangmu untuk berbagi! Demikian kata hati saya.

Di sinilah cerita mulai seru. Saat mengajukan cuti untuk 3 hari, hampir ditolak oleh Direktur Rumah Sakit. Maklumlah, saat itu sebagai Sekretaris Tim Akreditasi RS, pekerjaan lagi banyak-banyaknya. Apalagi tanggal pelaksanaan KI dan akreditasi cuma berselang 1 minggu saja. Tapi syukurlah, atas dukungan dari rekan satu tim, direktur pun dengan berat hati menizinkan untuk mengambil cuti.

3 hari jelang hari H, saya sempatkan diri untuk observasi. Maklumlah, pada saat acara briefing KI Gresik, saya tidak dapat hadir. Padahal di acara tersebut, seluruh kepala sekolah SD yang ditempati melakukan pemaparan. Masing-masing relawan pengajar dapat menggali informasi sekolah dengan sedetil mungkin.

Ternyata, duh. SD yang saya tempat tersebut memiliki riwayat peserta didik yang waow. Hampir separuh siswa, pernah putus sekolah. Latar belakang ekonomi keluarga siswa yang kurang beruntung, berpengaruh terhadap sikap anak di sekolah. Berantem sudah menjadi menu sehari-hari, baik di dalam kelas maupun di dalam kelas. Memiliki riwayat untuk tidak mudah menerima pengajar/guru baru. Pernah terjadi, guru honorer baru bertahan mengajar hanya 1 hari saja.

“Wah. Cukup gawat ini kayaknya,” begitu pikir saya. Hihihi…

Justru di situlah tantangannya. Saya pikir lebih ribet menghadapi karyawan yang demo, dibandingkan anak yang berantem. Beberapa tahun menjadi fasilitator rumah singgah, membuat saya cukup kebal terhadap tingkah polah anak yang aneh-aneh. Sehingga saya pun sudah bersiap untuk menerima hal buruk tersebut.

———————–

Nah, hal yang saya perkirakan itu pun terjadi. 3 kelas yang seharusnya dengan 3 orang relawan pengajar, harus berjalan dengan 2 orang relawan pengajar. 2 kelas digabung agar dapat berlangsung di waktu yang sama. Saya ‘ketiban sampur‘ untuk mengajar kelas dobel tersebut. Sebab seorang relawan pengajar lainnya angkat tangan.

Bercengkerama di sela waktu istirahat sekolah. (dok. pribadi)
Bercengkerama di sela waktu istirahat sekolah. (dok. pribadi)

Bisa dibayangkan, satu kelas saja sudah heboh. Ini 2 kelas dengan masing-masing jagoan yang langganan berseteru harus digabung. Meski sudah diwanti-wanti masing-masing guru wali kelas untuk tertib, namanya juga anak-anak. Saat saya barusan selesai membuka salam, 2 anak tersebut pun sudah saling jotos di depan muka saya. Wuidihhh…bernah bayangkangkan kejadian seperti ini?

Untunglah, secara fisik saya jauh lebih besar dibandingkan mereka. Saya dekati mereka. Saya pegang keduanya, sambil saya tanya, “Mau berantem terus? Hayok diteruskan di luar kelas sana. Saya jadi wasitnya!”

Sontak, mereka pun menghentikan gulat gaya bebasnya tersebut. Lalu serempak tepuk tangan bergema mengiringi. Hah…apaan ini? Temannya berantem, kemudian setelah dipisah disorak-sorai. Hahaha…asli dalam hati saya ikut ngakak. Aje gile

Seperti pawang harimau layaknya. Meski sudah dibatu oleh 2 orang panitia, masih saja adegan ‘saling lirik’ terjadi. Ini berlangsung hampir 15 menit awal. Namun alhamdulillah, setelah saya isi dengan beberapa game simulasi, mereka menjadi antusias. Apalagi pertanyaan-pertanyaan seputar aktivitas profesi saya yang mereka sangat kepo. Lewat gamegame edukatif itulah mereka saya perkenalkan, bagaimana HRD bekerja. Saya ambil contoh: saat ada yang berantem, meski bukan berantem secara fisik seperti mereka.

Catatan manis itu tak pernah kami lupakan. (dok. pribadi)
Catatan manis itu tak pernah kami lupakan. (dok. pribadi)

Ada hikmah penting yang dapat dimabil dari KI tersebut. Menjadi guru ternyata tidak mudah. Tidak hanya kecerdasan saja yang diperlukan. Kesabaran, kegigihan, totalitas, dedikasi serta keikhlasan yang tinggi sangat diperlukan. Profesionalitas seorang guru akan dirasakan sampai puluhan tahun ke depan. Membentuk karakter siswa cikal bakal pemimpin bangsa haruslah semua lini mendorong perannya masing-masing. Memberikan kontribusi meski hanya sehari. Namun yang sehari itu akan menjadi berarti.

Sebagaimana panggilan KI Gresik tahun 2015 ini. InsyaAllah, 12 Oktober sebuah SD Negeri di Pulau Bawean menanti. Yuk mari bersama kami menginspirasi negeri. Mengiringi cita-cita mereka setinggi langit. Sebab harapan lebih baik untuk esok hari itu pasti ada.

———————

[Tulisan ini 100% orisinal dan diikutkan Giveaway Cerita di Balik Blog.]

24 respons untuk ‘Tak Mudah Untuk Menjadi Guru

Tinggalkan komentar