Saatnya Memberdayakan Masyarakat dengan Internet Sehat


Sambutan dari Kementerian
Sambutan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

“Internet telah membuat kita menjadi kecanduan. Kita seolah tidak bisa berhubungan dengan dunia luar jika tidak tersambung dengan internet.” –Valens Riyadi—

Sultan Hamengkubawono X selaku pemangku kebijakan tertinggi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sedang ‘galau’. Tentu galaunya beliau bukanlah sepertinya galaunya para jomlo (baca: jomblo) yang tak juga menemukan belahan jiwa. Kegalauan atas mulai bergesernya nilai-nilai budaya di masyarakat akibat dari derasnya perkembangan perkembangan teknologi informasi (TI). Tak terkecuali di wilayah yang dipangkunya. Dimana meningkatnya kenakalan remaja, disinyalir tak lepas dari pengaruh negatif perkembangan TI tersebut.

Hal ini rupanya, tak bertepuk sebelah tangan. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menangkap visi yang sama dari kegalauan beliau. Maka untuk pertama kalinya, DIY dijadikan proyek pertama mengusung program ‘Menuju Masa Depan dengan Internet Sehat’. Bertempat di Convention Hall Hotel Grage Jogjakarta, Minggu (1/11) Talk Show Selamat Tinggal Internet Gelap di gelar. Ratusan peserta dari unsur pelajar, guru, penggiat media sosial, kelompok/komunitas pengguna internet, blogger, serta netizen mencoba ikut menyuarakan keresahan yang sama.

Internet sehat tak lagi berurusan dengan bagaimana memerangi konten-konten porno. Atau sekedar urusan memblokir situs-situs porno. Lebih dari itu, bagaimana kita dapat secara bijak menyensor hidup kita dari limbah negatif internet. Sebab kita tak lagi bisa menyensor hidup kita sebagaimana cara yang dilakukan pada 20 tahun yang lalu. Demikian Valens Riyadi, pakar TI dan praktisi net working asal Jogjakarta menyampaikan pendapatnya.

Dampak sosial yang begitu hebat paling dirasakan adalah mulai bergesernya nilai-nilai sosial dan budaya dalam keluarga. Tercatat 35 orang per hari perempuan menjadi korban kekerasan seksual sepanjang tahun 2000-2014 (data WHO). Di tahun 2014, 280.174 laporan diterima tentang kekerasan terhadap perempuan. 174.800 kekerasan terhadap perempuan terjadi dalam masa pacaran. Sementara 2.734 per bulan kasus kekerasan seksual yang terjadi dan dilaporkan. Tentu saja, data tersebut hanyalah ‘puncak gunung es’ dari kenyataan yang sesungguhnya terjadi di lapangan.

Demikian juga kekerasan yang terjadi pada anak. Hasil survey nasional berbasis populasi di tahun 2013 menyatakan bahwa 12% kekarasan seksual terjadi pada anak berusia 13-17 tahun. Dimana 8% menimpa pada anak perempuan dan 4% pada anak laki-laki. Belum lagi kasus yang menimpa anak di bawah usia 2 tahun yang meningkat tajam. Kasus pedofilia yang akhir-akhir terungkap, tentu menjadi momok tersendiri yang menghantu masyarakat.

Hal ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Derasnya perkembangan TI terutama makin banyaknya pengguna sosmed ikut berperan besar dalam kasus-kasus tersebut. 100 juta pengguna internet aktif di Indonesia bukanlah angka yang kecil. Belum lagi Indonesia yang menempati rangking ke-3 pengguna FB terbesar di dunia.

Belum lagi, begitu liberalnya para pengguna medsos (terutama FB) dalam memanfaatkannya. Termasuk game-game yang banyak berisi adegan kekerasan, erotis dan berbau aktivitas sex yang saat ini dapat diakses dengan mudah via FB. Sharing video sex dan aksi kekerasan yang banyak terjadi akan sulit disaring jika menggunakan FB atau twitter. Padahal kita tidak bisa membatasi anak untuk mengakses media sosial tersebut.

Ono W. Purbo dan Valens
Ono W. Purbo dan Valens Riyadi sebagai duo key note speakers.

Maka pendampingan orang tua terhadap aktivitas internet anak sangat dibutuhkan. Valens Riyadi mengungkapkan bahwa begitu mudahnya orang tua memberikan gadget canggih kepada anaknya menjadi salah satu katalis penggunaan internet tidak sehat. Dunia anak yang ingin serba tahu, cenderung akan mencoba situs apapun untuk dibuka. Sehingga banyak terjadi, anak atau murid akan lebih canggih menggunakan fasilitas internet dibandingkan orang tua atau gurunya.

Bayangkan, saat kita mengaplot foto-foto atau gambar bayi atau anak-anak dengan tampilan yang seksi. Mungkin bagi orang normal, hal tersebut terkesan lucu atau menggemaskan. Namun tidak bagi mereka yang pedofili. Gambar atau foto tersebut akan semakin merangsang keinginan mereka untuk menyalurkan sifat-sifat menyimpangnya tersebut. Bayangkan pula jika hal tersebut menimpa bayi/anak kita, akibat begitu seringnya kita pamer foto mereka. Sehingga dengan mudah para pedofil ini menguntit aktivitas bayi/anak-anak kita. Sangat mengerikan bukan?

Sementara itu, keynote speaker ke-2 yang sekaligus berperan sebagai moderator (dadakan), Ono W. Purbo banyak menyorot, bagaimana seharusnya kita menggunakan sosmed dengan bijak. Sesi penutup tanya-jawab yang dipandu oleh Kang Ono seolah tak ada habisnya. Saran, testimoni, hingga pertanyaan menggelitik sampai sangat serius terlontar. Tapi karena durasi yang tak memungkinkan, seminar akhirnya harus ditutup pada pukul 12.45 Wib.

Acara yang dibuka pada pukul 09.00 Wib, ini pun dilanjutkan pertemuan secara terbatas dengan beberapa penggiat netizen, blogger dan komunitas. Pertemuan yang bertujuan untuk membuat role model konsep pelayanan terhadap aduan kekerasan terhadap perempuan dan anak di wilayah DIY. Diharapkan role model ini mampu diaplikasikan secara mudah di lapangan. Sekaligus dapat diadaptasikan ke seluruh wilayah Indonesia.

Tentu hal tersebut bukanlah pekerjaan yang mudah. Dibutuhkan kesungguhan, jejaring yang kuat dari berbagai lini pemangku kepentingan, dan partisipasi seluruh lapisan masyarakat. Sebab berangkat dari pengalaman serupa, hal itu akan ‘mati kutu’ jika tidak dilanjuti secara kontinyu.

3 respons untuk ‘Saatnya Memberdayakan Masyarakat dengan Internet Sehat

  1. Semoga masyarakat semakin bijak dalam menggunakan internet ya, pakde. Biar gak salah kaprah dan internet membuat dampak positif bagi masyarakat di Indonesia, biar gak ketinggalan perkembangan teknologi hehe

Tinggalkan komentar