BPJS Kesehatan Haram?


JKN2

Merujuk berita dari okezone.com, bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan bahwa konsep Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang saat ini berlangsung tidak sesuai dengan syariat Islam. Dengan kata lain, program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dioperatori oleh BPJS Kesehatan dinyatakan haram (demikian judul yg dikemas oleh berbagai media nasional atau lokal). Hal itu menjadi salah satu keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia ke-5 yang diselenggarakan di Ponpes at-Tauhidiyah, Cikura, Tegal (7-10/6/2015).

Hal ini didasarkan adanya beberapa transaksi yang dianggap mengandung unsur gharar, maisir dan riba. Nah, transaksi apa saja yang masuk dalam kriteria tersebut? Berikut ini adalah gambarannya:

  1. Gharar (ketidakjelasan/spekulasi tinggi), nasabah/peserta tidak tahu kapan dia akan mendapatkan pertanggungan. Klaim bisa terjadi kapan saja.
  2. Qimar (unsur judi), pihak asuransi bisa tidak perlu membayar klaim jika tidak terjadi apa-apa, juga bisa saja asuransi membayar berkali-kali jika nasabah/peserta sering celaka.
  3. Riba; riba fadhel (riba perniagaan) dan riba nasiah (riba karena penundaan). Jika pihak asuransi membayar lebih besar kepada pihak ahli waris itu riba fadhel, jika asuransi membayar klaim kepada nasabah namun ada penundaan waktu itu jadi riba nasiah, seolah-olah nasabah memberikan pinjaman uang kepada pihak asuransi.
  4. Judi dengan taruhan yang dilarang, premi itulah yang jadi taruhannya. Siapa nih yang akan bayar duluan? Nasabah/peserta yang lunas tanpa celaka? Atau asuransi yang harus nombok karena nasabahnya celaka terus?
  5. Dalim, dengan memakan harta orang dengan jalan yang batil, pihak asuransi mengambil harta nasabah/peserta namun tidak selalu memberikan timbal balik. Termasuk saat mengenakan denda sebesar 2% jika terdapat keterlambatan pembayaran oleh nasabah/peserta. Hal ini seperti yang terjadi pada iuran JKN.
  6. Pemaksaan tanpa sebab yang syar’i, seolah-olah nasabah/peserta celaka dulu baru deh dapat uangnya kembali sebagai pengganti biaya perawatan. Selanjutnya, jaminan kesehatan sebenarnya adalah hak dasar sebagai warga negara. Pemerintah seharusnya berupaya seoptimal mungkin untuk memenuhi hak-hak tersebut. Bukan malah sebaliknya. Memaksa menarik iuran untuk menanggung biaya kesehatan dirinya dan warga negara yang lain.

Keputusan Komisi Fatwa MUI tersebut tentu perlu menjadi masukan positif bagi BPJS Kesehatan. Ada benang merah pastinya saat keputusan itu dibuat. Sebab apapun kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tentu efeknya pasti berimbas kepada masyarakat. Sebagaimana diketahui bahwa sebagian besar penduduk Indonesia adalah muslim. Kritisi terhadap kebijakan pemerintah termasuk amar ma’ruf wa nahyi munkar yang menjadi tugas dari MUI.

.

Jika Haram, Bagaimana Mencari Solusinya? 

Sebuah pendapat menarik disampaikan oleh seorang praktisi humas yang banyak bersinggungan dengan pelaksanaan JKN, Anjari Umarjianto. Seperti yang saya kutip lengkap dari status FB beliau seperti di bawah ini:

—-Mencermati beberapa berita, kalau tidak salah fatwa haram itu ditujukan pada:

  1. Adanya denda atas keterlambatan iuran.
  2. Setoran iuran pd bank konvensional.

Jadi menurut hemat saya, kita semua (Masyarakat) jangan gebyah uyah. Dan mari fokus cari solusi pada 2 hal itu.

Sebagaimana kita ketahui bersama, denda atas keterlambatan itu dimaksudkan utk terpenuhinya terkumpulnya Dana sosial agar bisa saling membiayai ketika saudara lain sakit. Denda itu wujud “mendidik” peserta JKN (masyarakat) bahwa ini kita gotong royong lho, “arisan biaya berobat”. Jadi harus gantian, saling membantu. Contoh kasus sederhana saja, th 2014 total iuran terkumpul sekitar Rp. 6 Trilyun. Banyak banget kan? Tapi total pengeluaran klaim pengobatan Rp. 32 trilyun. “Nombok” dong. Untung ada iuran PBI, peserta askes dll. Nah, itulah makanya kita perlu mendidik kesadaran iuran ini.

Jika memang tidak boleh di-denda, barangkali MUI bisa kasih saran bagaimana cara menutup kekuarangan “Dana sosial” JKN itu? Barangkali ceramah para ulama bisa sadarkan peserta JKN utk bayar iuran. Apa perlu fatwa bagi yg tidak mau bayar iuran? Ada kemungkinan solusi, bagi yang telat bayar iuran:

  • ada pihak yang nomboki
  • yg nggak bayar iuran tidak ditanggung.

Sayangnya, sampai skrg sy blm baca alternatif solusi dari MUI khusus dlm hal ini. (Selain normatif “bpjsk syariah”)

Terkait setoran iuran yg hanya di bank konvensional, menurut saya fatwa MUI itu bagus. Peserta JKN harus dipermudah bagaimana setoran iuran, termasuk di bank2 syariah.

Juga fatwa MUI agar pemerintah melaksanakan pelayanan prima itu jg bagus sekali. Tinggal mari kita sama2 berkontribusi demi terselenggaranya jaminan sosial Kesehatan dg baik. Niatnya fatwa ini tentu sinergi tetapi kalau separo2 menyampaikan atau menangkapnya bisa2 kita semua jadi rugi. —-

.

Tentu untuk mencari solusi dari permasalahan tersebut di atas, diperlukan upaya semua pihak untuk bisa duduk bersama. Toh, masalah-masalah yang terjadi di lapangan, mulai dari hilir hingga hulu sudah banyak ditemukan selama setahun lebih ini. Peran serta stake holder, pembuat kebijakan, organisasi maupun lembaga pemerhati kesehatan bisa duduk bersama untuk bisa memperbaiki sistem yang sudah berjalan.

Pengalaman puluhan tahun dari negara lain yang sudah menjalankan sistem kesehatan semesta hendaknya bisa menjadi pembanding. Bagaimana melewati fase-fase sulit yang pasti dialami juga oleh mereka. Sebab sebagus dan seideal apapun model roadmap JKN, tak akan bisa berhasil jika banyak komponen yang tidak mendukung program tersebut. Akan menjadi masalah yang serius, jika JKN mengalami devisit pengelolaan keuangan yang terus menerus dan menahun bukan?

—Selamat siang. Smangat pagi.—

4 respons untuk ‘BPJS Kesehatan Haram?

  1. oke oke..
    jadi begini, menurut saya,
    haramnya bpjs tidak pada iuran yang di bayar di bank konvensional, maupun denda yang di berikan bila tidak membayar, TETAPI pada bisnis ASU-ransinya.
    bagaimana bisnis ASU-ransi berjalan..?
    di adalah bisnis dengan mengambil keuntungan dari hasil “gambling” (untung untungan)
    hal ini saya dengar sendiri dari salah seorang sales ASU-ransi swasta..
    di mana letak gambling nya?
    ya, sudah jelas.. kita men-gambling kan kesehatan kita…
    itulah, yang menurut saya HARAM..

  2. Tetap daftar saja toh, Mas. Gak sampai jual motor untuk daftar kan? 😀
    Kita lihatnya dr sisi kemanfaatan dan gotong-royongnya itu. Hitung-hitung kita sadaqah sekaligus bersyukur agar tdk ditimpa sakit. Toh, fatwa tsb jg masih diperdebatkan. 🙂

  3. Lha. Iya. Dalam pembahasan Komisi Fatwa tersebut apa tidak ada unsur dari Kemenkes cq BPJS untuk menjelaskan? Kalau yang satu membuat keputusan sementara lainnya menanggapi lewat sosmed, sementara rakyat yang menjadi pertaruhannya, itu njuk piye? Ini juga terjadi di lapangan. Faskes (RS) bilangnya A, sementara staf BPJS yang ada di RS yg sama bilang B. Kalau rakyat bingung, disalahkan. Kalau marah, apalagi.

    Koplak.

    1. Kalau belum sempurna, mari kita sempurnakan. Kalau masih belum baik, mari kita perbaiki. Kalau belum halal, mari kita jaga prosesnya biar halal. 🙂

Tinggalkan komentar