Adab Memilih Pemimpin


IMG_20150220_060423

Ibnu Katsir menukil sebuah riwayat dari Umar ibn Khattab radhiyAllahu ‘anhu (semoga Allah melimpahkan keridaan kepadanya).

Bahwasannya Umar ibn Khattab ra. memerintahkan Abu Musa Al Asy’ari bahwa pencatatan pengeluarannya dan pemasukan pemerintah dilakukan oleh satu orang. Abu Musa memiliki seorang kerani (juri tulis) yang beragama Nasrani. Abu Musa pun mengangkatnya untuk mengerjakan tugas tadi. Umar ibn Khattab pun kagum dengan hasil pekerjaannya.

Ia berkata, “Hasil kerja orang ini bagus, bisakah orang ini didatangkan dari Negeri Syam untuk membacakan laporan-laporan di depan kami?”

Abu Musa menjawab, “Dia tidak bisa masuk ke Tanah Haram.”

Umar bertanya, “Kenapa? Apa karena dia junub?”

Abu Musa menjawab, “Bukan Tuan. Karena dia seorang Nasrani.”

Umar pun kemudian menegurku (Abu Musa) dengan keras dan memukul pahaku seraya berkata, “Pecat dia!

Umar pun kemudian membacakan firman Allah Ta’ala yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim.” (Tafsir Ibnu Katsir, III/132)

Pelajaran yang Terkandung

Demikianlah seorang sahabat Rasulullah yang mulia, Umar ibn Khattab ra. memberikan sebuah uswah (contoh) kepada kita. Bagaimana seorang pribadi muslim hendaknya dapat mengambil contoh dari sebuah kisah di atas. Apalagi Allah Ta’ala pun telah memerintahkan yang demikian pula. Maka, masih ragukah kalian wahai kaum muslim terhadap kebenaran ayat-ayatNya.

Kita mengenal Umar ibn Khattab sebagai khalifatur rasyidin yang ke-2. Bukan tanpa alasan jika pasca wafatnya Abu Bakar as-Shidiq, beliau mewasiatkan agar Umar ibn Khattab diangkat sebagai khalifah penerus beliau. Ketegasan serta keteguhan beliau dalam memegang prinsip aqidah sangat tidak diragukan. Karena ketegasan serta keberanian beliau itulah Rasulullah sallAllahu ‘alaihi wassalam (semoga Allah memberikan shalawat dan salam kepadanya) memberikan julukan “Al-Faruq“, Sang Pembeda. Yang mampu membedakan mana yang haq dan mana yang batil. Mana yang halal dan mana yang haram.

Maka sangat disayangkan jika kaum muslimin saat ini tertatih-tatih saat menetukan pilihan untuk memilih pemimpin. Masih kurang jelaskah Allah Ta’ala memberikan rambu? Atau diri kita telah dibutakan oleh nafsu sesaat karena kepentingan. Sehingga memilih kaum kuffar sebagai pemimpin atau orang yang memegang posisi strategis yang bersangkutan dengan hajat hidup kaum muslimin. Ataukah kita harus menunggu azab terlebih dahulu, hingga kita tersadar bahwa ada yang salah dengan diri kita?

Hanya diri kita dan Allah saja yang tahu.

—Selamat pagi. Semangat pagi.—

4 respons untuk ‘Adab Memilih Pemimpin

Tinggalkan komentar