Menjadi Manusia Baru


jkn

Berpuluh kali kita lewatkan momen Idul Fitri. Berpuluh kali pula, kita juga dengarkan tausyiyah selepas Salat ‘Id. Tapi berapa kali pula kita tak mampu menangkap esensi dari ceramah sang ustaz. Sebab kita berpikir, memang demikianlah seharusnya ritual yang terjadi. Seperti itu juga prosesi yang harus dilewati oleh para jamaah.

Terasa sekali momen tersebut kalah tanding dengan bunyi petasan. Atau hiruk-pikuk ritual permudikan yang menyita segenap kemampuan kita. Hingga terkadang kita lepaskan hari-hari terakhir puasa Ramadan begitu saja. Toh, puasa itu dapat kita gantikan di luar bulan Ramadan.

Prosesi dan ritual ibadah di hari yang fitrah seharusnya menjadikan kita manusia baru. Menjadi seorang muslim yang semakin sadar bahwa ritual ibadah yang dilakukan bukan sekedar formalitas. Formalitas yang menunjukkan bahwa kita berbeda keyakinan dengan pemeluk agama lainnya. Sama sekali bukan yang demikian.

Islam membimbing kita untuk berfikir dan memandang sesuatu. Pun demikian dengan bulan Ramadan yang mendidik dan mengajar kita untuk berperikehidupan sebagai muslim. Bukan hanya wujud ritual untuk menahan makan dan haus. Namun lebih dari itu, menunjukkan jati diri manusia pada tempat yang seharusnya. Yaitu menjadi hamba yang bertakwa. Yang berikhtiyar untuk tak menuhankan sesuatu yang tak layak dipertuhankan.

Idul Fitri mengajari kita tentang syariat. Dimana syariat adalah anugerah indah. Membebaskan perbudakan manusia kepada pihak lain yang tak layak, menjijikkan dan merendahkan kemanusiaan. Kewajiban zakat fitri menyandarkan diri kepada kesadaran kepada satu nilai. Bahwa semua manusia sama derajatnya di hadapan Allah Azza wa Jalla tanpa terkecuali. Tak ada pengecualian daripadanya untuk mengeluarkan zakat. Yang kaya, yang miskin, yang dewasa, yang anak-anak, laki-laki, perempuan, semua wajib mengeluarkan zakat untuk dirinya.

Sebuah pelajaran dan pencerahan yang luar biasa dari peristiwa Idul Fitri. Salah satu syariat yang memudahkan dan memuliakan manusia. Allah Ta’ala menyebutnya sebagai huda, nur, rahmat, mau’izah, atau syifaaun lima fi shudur. Meski ia begitu nampak berat bagi yang salah paham. Nampak sulit bagi yang tak tulus. Nampak rumit bagi yang merajakan akal. Padahal hidup tanpanya justru semakin membuat berat, sulit serta rumit.

Lalu jika demikian, akan berapa kali Idul Fitri lagi kita menjadi manusia baru?

Tinggalkan komentar