Naik Kereta Api Tut Tut Tut


Di usiaku yang ke-17 tahun ini. Ssssttt…. 17 tahun ++ maksudnya. Ada perasaan ingin kembali ke masa-masa silam. Nikmati kenakalan kanak-kanak. Dengan segala tingkah pola lucu atau yang menyebalkan. Menyusuri kota demi kota karena tak berani pulang. Berbekal uang 25 rupiah, susuri kota demi kota di Jawa Timur. Mulai dari Surabaya, Mojokerto, Jombang, Kertosono, Kediri, Tulungagung, Blitar dan Malang.

Aku ‘anak kolong’, demikian tetanggaku biasa menyebutku. Ya, karena aku anak tentara. Begitu disiplin abahku mendidik kami. Waktu menjadi begitu berharga. Apalagi dengan yang namanya sholat atau mengaji. Tak ada alasan untuk mengelak atau sekedar sembunyi. Sebab jika tidak, sapu lidi atau rotan sudah menanti. Maka ‘minggat’ adalah pilihan terburukku saat itu. Jika melaggar pantangan itu.

Tapi maaf, aku tak bisa mendidik dengan cara-cara itu. Justeru ‘minggat’ kami jadikan acara rutin liburan panjang mereka. ‘Minggat terhormat nan hemat’, begitu biasa kami menyebutnya. Untuk urusan yang satu ini, dapat dipastikan, isteriku, umminya anak-anak tak mampu ikuti ritme kami. Cuma bilang,”Ya, hati-hati di jalan. Nanti kalau dah sampai, kabari ummi ya.”

Harap-harap cemas nunggu KA Penataran.
Harap-harap cemas nunggu KA Penataran.

Jadual minggat mesra alias bacpackeran nekad liburan panjang anak-anak kami kemarin adalah Kota Blitar dan Wlingi. Dengan berbekal 10 tiket 8 ribuan plus uang tunai 200 ribu, kami berlima siap berpetualang. Alhamdulillah, (19/6), Mojokerto pagi itu menyambut kami dengan ramah. Kereta api Penataran sudah bersiap diri untuk segera berangkat. Pukul 06.20 Wib, akhirnya menjadi waktu yang kami tunggu.

Saling curcol di dalam gerbong, seru deh...
Saling curcol di dalam gerbong, seru deh…

Waktu begitu berarti  saat di dalam gerbang. 4 bulan berpisah menjadikan rasa kangen diantara kami begitu membuncah. Maklum, ketiga anak kami terpisah dan berada di pondok pesantren yang berbeda. Saling colek, saling goda, saling curcol. Begitu seru dan menggairahkan. Setelah perjalanan semacam ini kami lakukan ke Jogja tahun medio 2012 kemarin.

Banyak stasiun dilewati.
Banyak stasiun dilewati.

Stasiun demi stasiun kami lewati. Ada banyak cerita berlintasan di setiap stasiun yang kami singgahi. Ada sensasi tersendiri begitu berbeda dibanding kami naik kendaraan pribadi. Heboh dan keindahan yang tak tergambar dengan kata-kata. Terkadang kami pun saling terdiam. Mencoba melukis kenangan di hati masing-masing.

Nyampe di Blitar deh. Langsung naik delman. Eng...ing...eng...
Nyampe di Blitar deh. Langsung naik delman. Eng…ing…eng…

Sekitar pukul 10.15 Wib, sampai juga kami di Stasiun Kota Blitar. Cukup bersih dan rapi tertata kami lihat. Meski masih saja nada memaksa bermunculan saat kami mulai mencoba memilih moda angkutan wisata. Saya sebagai pemandu kru kecil saya cukup maklum. Sebab mereka juga sedang berburu kesempatan untuk mengais rupiah.

Sebuah dokar/delman yang kami tuju. Pak Dipo, demikian nama saisnya. 30 ribu rupiah akhirnya kami bersepakat dengan catatan, jangan ngebut. Ditambah minta jalan berputar menuju komplek makam Bung Karno. Jarak yang harusnya cuma 2,4 km menjadi 4 km-an, karena kami ingin nikmati keindahan kota.

Gerbang masuk, nampang di depan patung Sang Proklamator.
Gerbang masuk, nampang di depan patung Sang Proklamator.

Sekitar 20 menit perjalanan, sampailah kami di komplek makam Bung Karno. Suasana kemerahan di setiap sudut dan beberapa puluh tenda siap didirikan di jalan barat makam. Ya, bulan Juni adalah ‘Bulan Soekarno’, demikian tradisi tahunan yang digelar oleh masyarakat Blitar dan sekitarnya. Menandai kelahiran Sang Proklamator.

Kami masuki gerbang dan langsung menuju sisi kanan yang berjejer segala fasilitas pendukung komplek. Dengan luas 1,8 Ha., komplek makam terasa begitu leluasa. Museum manuskrip dengan berbagai foto dan barang pribadi peninggalan Bung Karno, perpustakaan yang amat nyaman serta berbagai ruangan pendukung termasuk ruang konvensi untuk seminar atau lokakarya.

Anakku lagi narsis di komplek dalam, dg latar belakang makam Bung Karno.
Anakku lagi narsis di komplek dalam, dg latar belakang makam Bung Karno.

Selanjutnya setelah cukup nyaman berputar-putar di area depan, segera kami bergerak ke utara menuju Gapuro Agung. Namun seperti biasanya, saya harus mendaftarkan dulu anggota rombongan.

“Saya wartawan Harian X dari Surabaya. Ada 4 orang anak saya yang ikut, Pak,” demikian saya jelaskan pada petugas. Sekaligus trik agar tidak ditarik (maaf) pungutan tak resmi.

Berlima kami memasuki komplek makam utama yang terdapat makam Bung Karno berbentuk joglo yang diberi nama ‘Astono Mulyo’ (Istana Kemulyaan, Ind.). Cukup ramai pengunjung/penziarah saat itu. Mulai dari rombongan siswa TK sampai dengan rombongan turis.

Bonbin mini Sentul di Kota Blitar.
Bonbin mini Sentul di Kota Blitar.

Setelah cukup untuk menyingkap penat, segera kami segera beranjak untuk keluar komplek makam. Namun setelah beberapa saat berjalan, rupanya kami sudah dihadang ratusan deret pedagang. Baru beberapa puluh meter, saya putuskan untuk balik kanan. Membayangkan berapa kilometer lagi kami harus berjalan jika melewati jalan melingkar itu.

Kami sempat ditegur oleh 2 petugas, sebab kami keluar melalui arah pintu masuk. Tapi dengan diplomatis saya jawab,”Apa bapak mau gendong anak saya kalau mereka kelelahan? Kalau bapak mau, silahkan bapak antarkan saya.”

Merekapun hanya saling pandang dan membiarkan kami untuk berlalu. Akhirnya kami segera berlalu untuk menuju tempat berikutnya yaitu kebun binatang mini Sentul. Dengan tiket hanya 2.500 rupiah kami masuk area mini bonbin (demikian masyarakat biasa menyebut). Dengan luas tak lebih dari 2000 meter persegi berbagai aneka satwa tersaji. Cukup bagus sebenarnya, sayang kurang mendapatkan perhatian yang maksimal dari Pemkot Blitar sepertinya. Sehingga terlihat beberapa koleksi yang kondisinya cukup memprihatinkan (kurus).

Bermain sepeda elektrik di Taman Kota Kebonrojo.
Bermain sepeda elektrik di Taman Kota Kebonrojo.

Setelah kami rasa cukup, kami lanjutkan dengan makan bakso untuk melengkapi sarapan ke-2 kami. Ohww…setelah kami selesai makan dan berhitung, ternyata berlima kami hanya membayar 35.500 rupiah. Padahal kami makan 4 porsi bakso istimewa plus minum, 3 bungkus krupuk dan 7 tusuk sosis goreng. Sampai-sampai saya memastikan, apa benar hitungannya kepada mbak penjual.

Pas sekitar pukul 12.00 Wib, Bu Ayu, sahabat kami menjemput untuk segera beranjak menuju ke Wlingi. Oh ya, sebelumnya kami sempatkan dulu untuk mampir ke Taman Wisata Kebonrojo yang sedang bersolek di sana-sini. Setelah sampai, kami bergerak menuju masjid di utara taman untuk menunaikan sholat jamak takhir Dhuhur dan Ashar dulu.

Setelah itu, sekitar 1, 5 jam kami berkeliling taman. Dengan menyewa 3 sepeda listrik kami bersuka ria. Tentu saja 3 krucil yang kami bawa sangat menikmatinya. Termasuk saya tentu saja. Sedangkan mbak ‘Indy, putri pertama saya cukup duduk-duduk saja setelah jalan berkeliling.

Jamuan makan di rumah Bu Ayu (nggak pakai Ting Ting).
Jamuan makan di rumah Bu Ayu (nggak pakai Ting Ting).

Puas bersepeda ria, segera kami menuju kota Wlingi. Sebuah kota tua, kota kecamatan dari Kabupaten Blitar yang berada di timur kota Blitar. Berbatasan dengan Kabupaten Malang di sebelah timurnya.

Makan siang pun digelar sesuai menu khas dari resto yang dimiliki Bu Ayu. Bakso dan semua pendukungnya di gelar. Tak sampai 1/2 jam semuanya ludes. Maklumlah, jalan-jalan ini cukup memakan energi. Apalagi anak-anak yang tiada henti untuk bergerak.

Setelah dirasa cukup waktu untuk segera menuju Stasiun Wlingi, maka kamipun bersiap. Tak lupa dengan seabrek buah tangan yang sudah disiapkan oleh Bu Ayu dan suaminya. Wuaah, asiik… demikian seru anak-anak. Meski saya sendiri menjadi agak jengah.

Bye...bye...Blitar. We've still miss you.
Bye…bye…Blitar. We’ve still miss you.

Sekitar pukul 16.00 Wib, kami sampai di Stasiun Wlingi. Menunggu KA Penataran dari arah Malang yang akan mengantarkan kembali pulang. Kereta datang tepat pukul 16.15 Wib. Kami pun beranjak pulang.

Terima kasih Blitar. Terima kasih Bung Karno. Terima kasih rusa, burung merak, simpanse, buaya, ular dan burung-burung indah. Terima kasih Wlingi dengan Bu Ayu serta keluarganya. Terima kasih pak masinis KA Penataran yang membuat perjalanan kami nyaman. Senyaman saat kami dengarkan lagu: Naik Kerata Api Tut…Tut..Tut…

Maaf, kami meninggalkan kalian semua dengan sejuta kenangan. Dengan uang tunai, 110 ribu rupiah yang masih nyangkut di dompet. Serta harapan, kami akan kembali mengujungimu. Merambah destinasi yang belum sempat kami tengok: Sumber Udel, Candi Penataran, serta pantai eksotik Serang.

[Artikel GA My Itchy Feet…Perjalananku yang tak terlupakan  punya Mbak Indah Nuria Savitri.]

4 respons untuk ‘Naik Kereta Api Tut Tut Tut

  1. matur nuwun mbak bisa ikut ga-nya. kegiatan backpackeran gini ini biasa kami sebut dengan ‘tadabbur alam’. berkenalan dengan alam, yang rutin kami lakukan sejak mereka kanak-kanak.
    kalau tidak ada ga-nya njenengan belum tentu tulisannya jadi seperti ini. 😀

  2. waaah…tak ada tamasya yang paling mengasyikan selain dengan orang-orang tercinta…sekalian temu kangen yoo mas :D..dengan anak-anak yang masih belia namun sudah luar biasa dididik di pesantren. Bepergian dengan kereta api pun seruu yaa..apalgi pake bonus curcol hehehe…Terima kasih sudah sharing pengalamannya mas dan ikutan GAku…serunya berItchyFeet ria..bukan sekedar perjalanan tapi juga mendekatkan hati dan rasa :D…salaaam….

Tinggalkan komentar