Masuk Neraka Siapa Takut #Jangan Pipis Sembarangan


Bukan bermaksud untuk mencontohkan perbuatan buruk. Paling tidak, dari pengalaman yang saya alami ini bisa menjadi peringatan bagi kita semuanya.

Kejadian ini saya alami sekitar tahun 1991. Cukup lama bukan? Sekitar 22 tahun yang lalu. Ketika saya mengikuti kegiatan gladi lapang (GLP) sebuah unit kegiatan mahasiswa. Sebagaimana proses lazim pada penerimaan calon anggota baru UKM, saya juga mengalami. Cukup panjang proses untuk menjadi anggota. Hampir satu tahun penuh. Dimulai dari tahap awal yaitu pendaftaran, seleksi administratif dan kesehatan. Jika tidak memenuhi syarat, maka tidak berhak mengikuti ke proses selanjutnya.

Tahap berikutnya adalah seleksi fisik. Dilanjutkan dengan pembekalan materi yang berlangsung sekitar 6 bulan. Itu juga masih diselingi dengan penjagaan lapangan. Biasa kita sebut dengan penjagaan. Tahap yang paling menentukan adalah GLP. Di sini calon anggota (cata) diharuskan untuk berjalan selama 3 hari 2 malam. Tentu saja dengan rute yang telah ditentukan.

Perjalanan panjang itu kita lakukan di sebagian wilayah Propinsi DIY. Berangkat dari Kota Yogyakarta, menyisir sebagian wilayah Gunung Kidul dan berakhir di Bantul. Tepatnya di Pantai Parangtritis. Bukan perjalanan rekreasi tentunya. Tapi perjalanan yang membuat banyak cata berguguran. Gagal sampai ke garis finis. Berarti gagal pula untuk menjadi anggota.

Rute berupa pengunungan benar-benar memforsir tenaga kami. Ditambah dengan tugas-tugas yang masuk akal maupun yang tak masuk akal. Bekal yang kami bawa pun ada batas maksimal. Perlengkapan masak dan isi ransel kami harus benar-benar diperhitungkan dengan cermat. Jarak sekitar 90 km dengan naik dan turun bukit tentu menjadi pertimbangan berat bekal yang harus kami bawa.

Lanjut pada cerita yang menjadi pengalaman luar biasa yang kami alami. Pada hari ke dua, sampailah kami pada suatu daerah yang cukup dikenal oleh masyarakat di Gunung Kidul. Karena keindahannya, jelas. Karena diantara bebukitan kars itu terdapat banyak goa-goa yang masih perawan. Belum sempat dipetakan. Mengingat pada saat itu pecinta alam yang mengkhususkan diri pada kegiatan caving (susur gua) masihlah terbatas. Bukan keindahan itu tentu yang menjadi titik cerita saya. Namun terkenal adanya beberapa tempat yang masih terkenal keangkerannya.

Kebetulan, atau memang sengaja dibuat oleh Panitia GLP, kami melewati beberapa daerah itu. Seperti biasanya, saat kami berhenti di beberapa pos yang ditentukan, kami mengerjakan tugas. Di pos itu jaga ada beberapa peringatan yang harus kami patuhi. Demikian juga saat kami memasuki daerah X yang berdekatan dengan Sungai Oyo. Terdapat beberapa ‘titik sakral’ yang kita tidak boleh melanggar pantangan. Pantangan itu adalah beberapa sikap kita yang menyebabkan ‘para penunggu’ daerah itu menjadi tidak berkenan.

Hhheehhh…tarik nafas dulu ya.

Kami melanjutkan perjalanan dari pos setelah melaksanakan sholat jama’ah Maghrib yang kami jamak dengan Isya’. Hal ini kami lakukan karena kami hanya punya satu baju bersih untuk sholat. Sedangkan baju satunya (seragam) kami gunakan untuk jalan. Untuk yang terakhir ini jangan coba tanya bentuk maupun baunya. Kebetulan kegiatan GLP ini kami lakukan pada saat musim kemarau. Oh ya, kami satu regu berjumlah 10 orang. Saat itu tinggal 8 orang, sebab yang 2 orang gagal melanjutkan perjalanan. Satu orang terpaksa dibawa ke rumah sakit terdekat. Sementara seorang lagi mengundurkan diri karena ‘keder’.

8 orang tersisa adalah 3 orang lelaki dan 5 orang perempuan. Sangat tidak menguntungkan tentunya. Kami sebagian juga harus membawakan sebagian bekal cata perempuan. Ini sebagai upaya kita agar tidak ada lagi yang sampai gugur. Semangat kebersamaan begitu luar biasa. Ini juga yang telah membentuk mental kami untuk tidak mudah berputus asa. Sekaligus terbiasa untuk saling meringankan beban berat sesama.

Singkat cerita, setelah berjalan kurang lebih satu jam. Tiba-tiba, seorang kawan kami, sebut saja Fulan, tak mampu menahan hajatnya. Perkampungan kami tinggalkan sekitar 3 km di belakang. Tinggal kebun dan rumpun bambu yang menyongsong kami di kanan kiri jalan makadam. Seperti yang kami lakukan sebelumnya, jika kami tak tahan. Mencari ‘tempat strategis’ adalah pilihan terbaik. Akhirnya kami ijin sebentar kepada teman seregu. Terpaksa saya ‘mengantarkan’ Fulan, karena dia bukanlah golongan pemberani.

Di dekat kami regu kami berhenti, sekitar 15 meteran, kami temukan seonggok batu. Di balik batu yang ukurannya cukup besar itulah Fulan melepaskan hajat, pipis. Sementara saya dengan setia menunggu di pinggir jalan. Setelah usai, langsung kami balik ke regu yang sudah siap melanjutkan perjalanan.

Sekitar pukul 9 malam, sampai juga kami ke pos yang dituju. Maaf, jangan anggap pos itu adalah tempat yang nyaman. Dimana kami bisa beristirahat dan berleha-leha. Pos itu adalah berupa saung di pinggir hutan yang sudah tak karu-karuan bentuknya. Setelah kami menyerahkan tugas ke panitia, segera kami menyiapkan tenda. Tenda itupun bukan berupa tenda standar yang banyak sahabat jumpai. Kami menyusun beberapa jas hujan (ponco)  untuk dibuat tenda. Bukan untuk kami kaum lelaki. Namun kami siapkan untuk kelima rekan perempuan.

Kami bertiga cukup tidur di atas matras yang menjadi alas tidur kami. Plus ponco yang kami gelar sebagai selimut. Sekalian melindungi kami dari sengatan nyamuk yang besarnya cukup lumayan. Beres sudah, sekitar pukul 10 kami siap ke peraduan. Ini menjadi kewajiban bagi kami, sebab panitia akan menghukum jika masih terdapat cata yang belum tidur pada waktu yang ditentukan.

Tak terasa, kelelahan kami yang berjalan seharian langsung membawa saya ke alam mimpi.

“Gilaaaaaa….! Gilaaaaaaa…….!,” tiba-tiba keheningan dan nyenyak tidur kami terusik. Demikian teriakan itu berulang-ulang dengan cukup lantang, keras dan berat. Tergopoh-gopoh saya bangun. Subhanalloh, pemandangan menakjubkan tersaji di depan mata kami. Saya, cata lain serta panitia yang ada saling pandang dan melongo.

Fulan yang badannya cukup subur, tiba-tiba sudah terlihat berdiri di atas dahan sebuah pohon besar. Bertelanjang dada dan hanya memakai (maaf) celana dalam. Secara reflek, saya menyadari bahwa ada suatu kondisi yang tak normal. Kesurupan. Hanya kata itu yang langsung bersarang di pikiran saya.

Dengan segera saya hubungi beberapa panitia. Sembari mengamati pergerakan Fulan yang berpindah dari dahan satu ke dahan lainnya dengan ringan. Sungguh tak dapat dipercaya. Apalagi ketinggian dahan-dahan itu cukup lumayan. Sekitar 10-12 meter mungkin. Saya sampaikan ke panitia agar tetap terlihat tenang. Kebetulan saya beberapa kali pernah menghadapi situasi seperti ini sejak saya SMA. Alhamdulillah, beberapa kali pula saya dapat membujuk kawan atau bahkan tetangga yang kesurupan.

Berbekal kemantapan dan niat untuk menolong, saya kuatkan hati saya terlebih dahulu.

“Assalamu’alaikum, Fulan…!,” demikian saya mencoba untuk membuka komunikasi. “Ayo Turunlah!”

“Hhhhmmmm… Gila!” sambil dia menunjukkan telunjuk ke arah saya.

“Ayo turunlah. Kita bisa bicara baik-baik,” masih saja aku coba untuk membujuk.

“Hhhhmmmm… Tidak mau!” dengan suara yang keras dan berat dia menolakku.

“Baiklah, aku punya sesuatu untukmu. Pasti kamu mau dengan ini,” sambil aku berikan kode meminta rokok kepada para panitia. Kemudian bergegas seorang panitia menyodorkan padaku.

Demikianlah proses negosiasi ini berjalan cukup alot. Kemudian yang dapat saya ketahui bahwa, yang ‘masuk’ pada raga Fulan itu adalah mahluk kasat mata yang bersemayam di batu besar tadi. Batu besar tempat Fulan membuang hajat. Permintaan terakhirnya ternyata meminta dua setengah bungkus rokok. Untunglah kami dapat perlihatkan kepadanya.

Ufuk timur mulai merekah jingga. Fulan secara perlahan menuruni pohon besar itu. Secepat kilat, saya hampiri dan menelikung tubuhnya. Dibantu 2 orang panitia yang cukup kekar. Maklumlah, saat itu tubuhku kerempeng. Menurut perhitunganku, harus ada yang membantu untuk menenangkan situasi.

Dengan masih menggeram, dia meronta-ronta saya pegang tengkuknya. Segera saya bacakan doa-doa dalam Al-Qur’an yang pernah dijarkan oleh bapak jika menghadapi situasi seperti. Berbagai omelan keluar dari mulutnya disertai erangan yang berat dan panjang. Sampai sekitar 15 menitan, dapat kami akhiri pergumulan. Sangat melelahkan bagi saya. Apalagi bagi Fulan.

Jawaban kami peroleh. Pengakuan sang ‘penunggu batu’ cukup membuat kami terperanjat. Ternyata tempat pipis itu adalah tempat tidur anak-anak ‘sang penunggu’ batu. Rupanya dia tersinggung berat dengan tindakan Fulan.

Inilah ternyata yang dapat kita ambil hikmahnya. Bahwa jangan sembarangan kalau buang hajat atau pipis. Kelihatan sepele bukan? Tapi ternyata dapat menyakiti seseorang atau sesuatu. Apalagi jika dilakukan pada tempat yang bukan semestinya. Hikmah lainnya juga adalah manusia tetaplah manusia yang sempurna. Sehingga tak bisa diatur oleh mahluk kasat mata itu. Rokok itupun masih aman dalam kantong saya sampai adegan itu berakhir. Tanpa satu batangpun saya keluarkan untuknya.

[Artikel ini diikutkan sebagai peserta Fiesta Tali Kasih Blogger 2013 BlogS Of Hariyanto – Masuk Neraka Siapa Takut!!!??? ”]

19 respons untuk ‘Masuk Neraka Siapa Takut #Jangan Pipis Sembarangan

Tinggalkan komentar